PERLINDUNGAN HUKUM OUTSOURCING
A. Perjanjian - Perjanjian Dalam Outsourcing
1. Perjanjian
Menurut KUHPerdata
Perjanjian merupakan suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[1]
Definisi perjanjian yang diuraikan oleh Prof. Subekti, S.H tersebut digunakan
untuk memberikan arahan yang jelas dalam pembahasan lebih lanjut tentang
perjanjian-perjanjian dalam outsourcing.
Pengertian perjanjian merupakan hal mendasar dalam membuat berbagai macam
perjanjian, antara lain perjanjian pemborongan pekerjaan, perjanjian penyediaan
jasa pekerja serta perjanjian kerja, yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan outsourcing. Perjanjian mengenai
pekerjaan penunjang perusahaan harus jelas dalam perjanjian kerjasama antara
para pihak, untuk itu pengertian perjanjian ini menjadi penting untuk dilakukan
pembahasan.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPerdata) pasal 1313 mengatur
tentang arti dari perjanjian, sebagai berikut : [2]
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Beberapa pengertian tentang perjanjian di atas memberikan arti bahwa suatu
perjanjian berlaku sebagai undang-undang yang harus dipatuhi oleh kedua pihak,
dimana memberikan hak kepada salah satu pihak serta menimbulkan kewajiban di
pihak lainnya, adanya prestasi dari salah satu pihak. Perikatan (verbitenis) tersebut dapat dirubah isi
maupun maksud dan tujuannya, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian seperti diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, sebagai berikut:[3]
- Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Unsur-unsur
tersebut di atas berlaku universal bagi seluruh perjanjian, baik merupakan
perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa maupun perjanjian kerja. Apabila
salah satu unsur perjanjian di atas tidak dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa
perjanjian tersebut batal demi hukum.
Perjanjian-perjanjian yang menjadi dasar
dalam pelaksanaan outsourcing secara
umum, terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Perjanjian Kerja
b. Perjanjian Pemborongan
Kerja
c. Perjanjian Penyediaan
Tenaga Kerja
Pada dasarnya outsourcing merupakan suatu kebiasaan dalam dunia usaha sebagai
salah satu strategi untuk dapat lebih berkonsentrasi dalam bisnis pokoknya. Outsourcing sebelumnya tidak diatur
secara tegas dalam peraturan perundangan di Indonesia , namun dengan telah
diaturnya outsourcing secara tegas
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka
pembahasan mengenai perjanjian-perjanjian dalam outsourcing menjadi penting. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh
para pihak tidak semata hanya mendasarkan pada kebebasan berkontrak semata,
namun juga harus mematuhi dan mengakomodir ketentuan dalam ketentuan
ketenagakerjaan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
2. Perjanjian Kerja
Pada dasarnya konsep outsourcing merupakan perjanjian antara pihak-pihak yang terkait,
baik perjanjian antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa
tenaga kerja, maupun antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan
karyawannya. Untuk itu pengertian perjanjian secara umum merupakan hal
mendasar dari pembahasan outsourcing.
Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dari perjanjian dimana
masing-masing perjanjian memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan
perjanjian yang lain. Namun seluruh jenis perjanjian memiliki ketentuan yang
umum yang dimiliki secara universal oleh segala jenis perjanjian, yaitu
mengenai asas hukum, syarat sahnya perjanjian, subjek serta objek yang
diperjanjikan.
Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat pada perjanjian yang dibuat oleh para
pihak berisi hak dan kewajiban pihak-pihak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini
tercermin asas “kebebasan berkontrak” (idea
of freedom of contract), yaitu seberapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan
perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka itu dan berapa jauh
hukum mengatur hubungan antara para pihak.
Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah perjanjian
kerja, yang juga merupakan dasar dari outsourcing.
Perjanjian kerja ini diatur secara khusus pada Bab Ketujuh Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang persetujuan-persetujuan untuk melakukan
pekerjaan. Perjanjian-perjanjian kerja yang diatur dalam KUHPerdata tetap
mendasarkan pada syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur pada pasal 1320
KUHPerdata.
Menurut
pasal 1601a KUHPerdata, yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja adalah suatu
perjanjian dimana pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada
pihak yang lain, majikan, selama suatu waktu tertentu, dengan menerima upah.
Dari
bunyi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa yang dinamakan Perjanjian Kerja
harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :[4]
- Adanya pekerjaan (arbeid)
Pekerjaan adalah prestasi yang harus dilakukan
sendiri oleh pihak penerima kerja, dan tidak boleh dialihkan kepada pihak lain
(bersifat individual)
- Adanya unsur dibawah perintah
Dengan adanya hubungan kedinasan tersebut
menjadikan pihak penerima kerja tersebut sangat tergantung pada
perintah/instruksi/petunjuk dari pihak pemberi kerja. Walaupun pihak penerima
kerja mempunyai keahlian atau kemampuan sendiri dalam hal melakukan
pekerjaannya, sepanjang masih ada ketergantungannya kepada pihak pemberi kerja,
dapat dikatakan bahwa masih ada hubungan subordinasi.
- Adanya upah tertentu (loon)
Upah merupakan imbalan dari pekerjaan yang
dilakukan oleh pihak penerima kerja, yang dapat berbentuk uang atau bukan uang
(in natura). Pemberian upah ini dapat
dilihat dari segi nominal (jumlah yang diterima oleh pekerja, atau dari segi
riil) kegunaan upah tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pekerja.
Oleh karena itu dikenal istilah “upah minimum”, yang biasanya ditentukan oleh
pemerintah guna meninjau kemanfaatan upah dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup, dengan menentukan jumlah minimal tertentu yang harus diberikan kepada
pekerja sebagai imbalan atas kerja yang dilakukan.
Sistem pemberian upah,
biasanya berdasarkan atas waktu atau hasil pekerjaan, yang pada prinsipnya
dengan mengacu pada hukum, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
atau kebiasaan yang ada di masyarakat.
Berkaitan dengan
perlindungan bagi pekerja, sebagaimana dimaksud dalam bidang kesehatan kerja,
yaitu mengenai batas waktu maksimal seseorang untuk melakukan, maka untuk
kelebihan waktu kerja diperhitungkan sebagai upah lembur. Begitu pula bila
dikaitkan dengan hak pekerja untuk beristirahat, maka dikenal adanya upah
pengganti. Beberapa prinsip yang umum yang ada dalam masyarakat dalam kaitan
dengan upah ini, adalah :
(1)
Upah
implisit dalam setiap hubungan kerja (yaitu bahwa dalam setiap hubungan kerja slalu terkait dengan masalah
upah);
(2)
Adanya
asas non diskriminasi, tidak ada perbedaan dalam hal upah;
(3)
Prinsip
“no work no pay”, diberlakukan dengan
pengecualiannya;
(4)
Pihak-pihak
yang terkait dalam hubungan kerja dapat memperjanjikan mengenai upah, asalkan
lebih menguntungkan bagi pihak pekerjanya;
(5) Larangan
pembelanjaan upah (truck stelsel);
(6) Dalam hal ada
pemotongan terhadap upah, maka harus dengan persetujuan pekerja yang
bersangkutan;
(7) Penerapan denda,
potongan, ganti rugi dan lain-lain sebagainya yang akan diperhitungkan dalam
upah, tidak boleh lebih dari 50 %;
- Adanya waktu (tijd)
Unsur waktu dalam hal ini adalah adanya
suatu waktu untuk melakukan pekerjaan dimaksud atau lamanya pekerja melakukan
pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja.
3. Pemborongan Pekerjaan
Perjanjian
pemborongan pekerjaan menurut pasal 1601b adalah perjanjian, dengan mana pihak
yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu
pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu
harga yang ditentukan.
Mr. Dr. C. Smit berpendapat, bahwa
ia tidak sepakat dengan definisi perjanjian pemborongan pekerjaan dalam pasal
1601b KUHPerdata, karena definisi ini tidak memperlihatkan bahwa pemborongan
pekerjaan merupakan perjanjian timbal balik. Menurutnya sebaiknya definisi
perjanjian pemborongan pekerjaan adalah “suatu perjanjian yang menyebutkan
bahwa pihak yang satu (pemesan) menugaskan kepada pihak yang lain (pemborong)
untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran tertentu (harga pemborongan)
dan pihak ini sepakat dengan pihak pertama untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut dengan pembayaran itu.
Hal tersebut dikarenakan bukan
hanya perjanjian pemborongan saja, tetapi perjanjian kerja, perjanjian untuk
melakukan jasa-jasa tunggal atau pekerjaan tertentu dan perjanjian angkutan
mempunyai persamaan, karena kesemuanya itu merupakan perjanjian yang
menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi
pihak yang lain dengan imbalan upah.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H.,
yang dinamakan perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara
seorang (pihak yang memborngkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang
memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan
yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah tertentu sebagai
harga pemborongan.
Dari rumusan tersebut dapat kita
lihat bahwa adanya perjanjian pemborongan merupakan :[5]
a.
Suatu
persetujuan (perjanjian) antara pihak pertama yang memborongkan atau principal
(aambesterder, bouwheer, kepala
kantor, satuan kerja, pemimpin proyek) dengan pihak kedua yang disebut
pemborong/rekanan (annemer,
kontraktor, konsultan).
b.
Penyelenggaraan
suatu pekerjaan oleh pihak pemborong bagi pihak lain yaitu pihak yang
memborongkan.
c.
Penerimaan
pihak pemborong atas sesuatu harga tertentu sebagai harga borongan dari pihak
yang memborongkan.
Bagaimana caranya pemborong
mengerjakan tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut (yang memborong),
karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan kepadanya dalam
keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Dalam kehidupan sehari-hari
kebanyakan orang mengira bahwa perjanjian Pemborongan hampir sama dengan
perjanjian kerja. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis perlu menerangkan
secara singkat hubungan antara keduanya yang pada dasarnya adalah mempunyai
persamaan sebagai perjanjian untuk melakukan pekerjaan dengan suatu pembayaran
sebagai balas jasa. Namun walaupun demikian keduanya tidak dapat digolongkan
dalam pengertian hubungan antara pihak-pihak dalam pengertian perjanjian
pemborongan.
Definisi perjanjian kerja menurut
pasal 1601 huruf a KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:
“perjanjian perburuhan adalah
perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di
bawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu,
melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Dalam pasal ini hubungan kerja
adalah hubungan antara buruh yang mengikuti majikan yang terjadi setelah adanya
perjanjian kerja dimana buruh melakukan pekerjaan di bawah pimpinan atau
petunjuk majikan. Sedangkan dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan,
hubungan antara seseorang pemborng pekerjaan dengan seseorang yang memborongkan
setelah adanya perjanjian pemborongan dimana yang menjadi tujuan utama dalam
perjanjian pemborongan ini adalah selesainya pembuatan dari isi perjanjian
pemborongan. Hubungan disini bukan merupakan hubungan kerja karena tidak ada
unsur memberi petunjuk atau unsur pimpinan pihak yang memborongkan.
4. Bentuk Perjanjian
Pemborongan Pekerjaan
Sama halnya dengan perjanjian pada
umumnya, hal yang paling penting dalam perjanjian pemborongan adalah
kesepakatan. Apabila sudah terjadi kesepakatan antara para pihak, yaitu antara
pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong maka perjanjian pemborongan
sudah terjadi. Bagaimanakah menuangkan kesepakatan tersebut tidak ada aturan
yang pasti, apakah harus tertulis atau dapat dilakukan secara lisan saja.
Menurut Mr. Dr.C. Smit perjanjian pemborongan dapat dilakukan sebagai berikut,
yaitu:
1. Lisan
Dalam banyak hal
perjanjian pemborongan dibuat secara lisan. Perjanjian pemborongan dibuat
secara lisan misalnya dalam hal seseorang memesan kepada seorang tukang sepatu
orthopedis sepasang sepatu dengan harga tertentu. Selanjutnya cara itu lazim
terjadi pada pekerjaan-pekerjaan kecil, misalnya seorang partikelir yang
mengerjakan pemotretan pada waktu luang menugaskan kepada seorang pemborong
untuk membuat kamar gelap ditingkat atas rumahnya dengan biaya tertentu.
2. Tertulis
Pada dasarnya para pihak dalam
perjanjian pemborongan lebih cenderung untuk mengadakan perjanjian pemborongan
secara tertulis. Hal tersebut dilakukan sebagai penegasan jika berurusan dengan
pemboronga-pemborongan yang lebih berarti. Dengan demikian para pihak maupun
pihak ketiga yang berkepentingan mudah untuk mendapatkan bukti dari perjanjian
pemborongan yang telah dibuat. Pada kontrak-kontrak penting seperti mengenai
bangunan-bangunan, segala sesuatu dibuat secara tertulis, baik dilangsungkan di
bawah tangan ataupun dengan pendaftaran.
B. Hubungan Para Pihak Dalam Outsourcing
1. Bentuk Perjanjian antara Perusahaan Outsourcing dengan Perusahaan Pengguna jasa Pekerja
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis.
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaknsakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan
yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:[6]
a.
Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b.
Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung
dari pemberi pekerjaan;
c.
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan;
d. Tidak
menghambat proses produksi secara langsung.
Perjanjian harus dibuat dengan perusahaan Outsourcing yang berbadan hukum[7], begitu
juga dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini supaya mempermudah apabila
sampai terjadi sengketa di bidang hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja bagai pekerja atau buruh pada perusahaan lain sekuruang-kurangnya sama
dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi
pekerjaan atau seusuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku :[8]
(1) Untuk
menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan wajib memiliki ijin
operasional dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
(2) Untuk
mendapatkan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan
menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
a. Copy pengesahan sebagai badan hukum
berbentuk Perseorangan Terbatas atau Koperasi;
b. Copy anggaran Dasar yang di dalamnya memuat
kegiatan usaha penyedia jasa pekerja/buruh;
c. Copy
SIUP;
d. Copy Wajib lapor Ketenagakerjaan yang
masih berlaku.
(3) Instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah
menerbitkan ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan diterima.
Dalam
hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi
pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang
sekurang-kurangnya memuat :[9]
(a)
Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh
dari perusahaan jasa;
(b)
Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana
dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia
jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaanpenyedia jasa sehingga
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselsiihan
yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
(c)
Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan
pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
2. Bentuk Perjanjian antara Perusahaan Outsourcing dengan Karyawan Outsourcing
yang Ditempatkan Pada Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja
Penyediaan jasa
pekerja atau buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut :
a.
Adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b.
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah
perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua pihak;
c.
Perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja
maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja atau buruh. Perlindungan upah dan kesejhateraan, syarat-syarat kerja
maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
pekerja atau buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pekerja atau buruh yang bekerja
pada perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh memperoleh hak yang sama
sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta
perselisihan yang timbul dengan pekerja atau buruh lainnya di perusahaan
pengguna jasa pekerja atau buruh.
Hubungan antara karyawan dengan perusahaan Outsourcing merupakan hubungan kerja
dengan menggunakan Perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut dapat berupa
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT).
3. Bentuk Perjanjian antara Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja
dengan Karyawan Outsourcing yang
Ditempatkan Pada Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja
Hubungan antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa pekerja timbul akibat
adanya perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dengan perusahaan outsourcing tempat karyawan tercatat
sebagai karyawan. Secara legal tidak terdapat hubungan kerja antara karyawan Outsourcing yang ditempatkan dengan
perusahaan pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing
yang ditempatkan di perusahaan pengguna jasa pekerja wajib mentaati Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku pada perusahaan tersebut.
Peraturan Perusahaan adalah merupakan bentuk dari hak dan kewajiban bagi
perusahaan maupun pekerja. Hak dan kewajiban timbul dari suatu hubungan kerja.
Dalam rangka melaksanakan pekerjaan yang timbul dari perjanjian outsourcing, hubungan hukum yang ada
adalah antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan outsourcing. Pekerja tidak memiliki hubungan hukum dengan
perusahaan pengguna jasa pekerja melainkan dengan perusahaan outsourcing.
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban
antara perusahaan dengan karyawan outsourcing.
Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan
perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang
disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing dengan perusahaan pengguna
jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja
dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam
bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak
tertentu. Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan
Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat
diterapkan untuk karyawan outsourcing
karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan
kerja antara karyawan outsourcing
dengan perusahaan outsourcing,
sehingga seharusnya karyawan outsourcing
menggunakan peraturan perusahaan outsourcing,
bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
C.
Pengaturan Outsourcing dalam
Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pada
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kata outsourcing tidak disebutkan secara
langsung, namun disebutkan sebagai ”menyerahkan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain.” Outsourcing sendiri
merupakan istilah yang lazim digunakan dalam dunia industri dengan makna yang
kurang lebih sama dengan maksud yang diuraikan oleh undang-undang
ketenagakerjaan.
Penyerahan
pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing
tersebut diatur pada pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat) serta pasal 66
(terdiri dari 4 ayat). Pasal-pasal tentang outsourcing
pada Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut memberikan arahan outsourcing sebagai berikut :
1. Jenis outsourcing.
2. Persyaratan formal outsourcing.
3. Persyaratan
perusahaan penyedia jasa/buruh.
4. Jaminan
kesejahteraan karyawan/buruh di perusahaan penyedia jasa/ buruh.
Pengaturan-pengaturan
mengenai outsourcing dalam
Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini mengalami perkembangan
dari pengaturan yang terdapat dalam KUHPerdata, dimana berawal dari persewaan
pelayan dan pekerja yang dimasukkan kedalam buku III KUHPerdata dimana jasa
pelayan atau pekerja disamakan dengan harta. Dengan pengaturan pada
undang-undang, tujuan pengaturan lebih ke arah pada aspek manusia atau
perlindungan terhadap pekerja.
Pemahaman
terhadap Pasal-pasal mengenai outsourcing pada Undang-Undang 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, diuraikan sebagai berikut :
1.
Jenis- Jenis Outsourcing
Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, menguraikan tentang jenis outsourcing sebagai berikut :
Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Pada penjelasan pasal dinyatakan cukup jelas,
sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa outsourcing atau dalam undang-undang dinyatakan sebagai sebagian
pelaksanaan pekerjaan perusahaan, terbagi menjadi dua bidang, yaitu perjanjian
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Jenis Outsourcing tersebut diuraikan sebagai
berikut :
a.
Pemborongan Pekerjaan
Dalam pemborongan pekerjaan yang dialihkan pada pihak
lain adalah proses bisnis atau pekerjaannya. Pada outsourcing pekerjaan ini harus dibuat suatu perjanjian yang akan
mengikat kedua perusahaan yaitu dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.
Unsur-unsur perjanjian pemborongan diuraikan sebagai berikut :
(1) Adanya
perjanjian;
(2) Penyelenggaraan
suatu pekerjaan oleh pihak pemborong bagi pihak lain yaitu pihak yang
memborongkan;
(3) Penerimaan pihak
pemborong atas sesuatu harga tertentu sebagai harga borongan dari pihak yang
memborongkan.
Pemborongan pekerjaan berarti perusahaan menyerahkan
pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain tanpa menyediakan perlengkapan dan
peralatan kerjanya. Semua kebutuhan perlengkapan dan peralatan dalam rangka
pelaksanaan pekerjaan berasal dari perusahaan yang menerima pemborongan kerja. Dalam
hal ini pihak pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan
bagi pihak yang lain, yaitu pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu
harga yang telah disepakati bersama. Pemborongan pekerjaan ini lebih menekankan
pada hasil akhir pekerjaan dibandingkan dengan aspek tenaga kerjanya. Hasil
akhir pekerjaan pemborong ditentukan dari kuaitas serta ketepatan waktu
penyelesaian objek pemborongan. Masalah tenaga kerja merupakan masalah
pemborong sepenuhnya.
b. Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Penyedia
Jasa Pekerja yang dimaksud dalam pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan diartikan sebagai perusahaan menyerahkan pelaksanaan
pekerjaan kepada “pihak lain” berikut
perlengkapan dan peralatan kerjanya. Dengan kata lain, “perusahaan lain”
tersebut hanya menyediakan jasa tenaga kerja saja. Proses penerimaan karyawan
sampai dengan proses Pemutusan Hubungan Kerja karyawan merupakan tugas dari
perusahaan penyedia jasa pekerja, tentunya dengan masukan serta pertimbangan
dari pihak pemberi pekerjaan. Penyediaan jasa tidak untuk kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia
jasa berbentuk badan hukum dan memiliki izin dari Instansi Ketenagakerjaan.
Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan karyawannya yang
ditempatkan pada perusahaan pemberi pekerjaan dapat berbentuk perjanjian kerja
waktu tertentu ataupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
2.
Pembatasan Kegiatan Outsourcing
Pasal
65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain atau
dapat juga disebut sebagai pembatasan kegiatan outsourcing, sebagai berikut
:
Pasal 65
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan :
(1)
Penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2)
Pekerjaan
yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b. dilakukan dengan perintah langsung
atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
c.
merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan; dan
d. tidak
menghambat proses produksi secara langsung.
(4) Perusahaan
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badan hukum.
(5) Perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6) Perubahan
dan/atau penambahan syarat -syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(7) Hubungan
kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh
yang dipekerjakannya;
(8) Hubungan
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(9) Dalam
hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak
terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan
perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(10) Dalam
hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan
sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Selanjutnya,
mengenai pasal 66 ayat (1), Penjelasan UU memberikan keterangan lebih lanjut
sebagai berikut.
’Pada pekerjaan yang
berhubungan dengan kegiatan
usaha pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya
diperbolehkan mempekerjakan
pekerja/buruh dengan perjanjian
kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.’
’Yang
dimaksud kegiatan jasa
penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan
yang berhubungan di luar usaha pokok (core
business) suatu perusahaan.’
‘Kegiatan
tersebut antara lain : usaha pelayanan
kebersihan (cleaning service),
usaha penyediaan makanan
bagi pekerja / buruh (catering), usaha tenaga pengaman
( security / satuan pengaman),
usaha jasa penunjang di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.
3. Persyaratan Formal Outsourcing
Dalam UU, diberikan beberapa persyaratan
formal untuk melakukan outsourcing yang
harus diperhatikan oleh pemberi pekerjaan. Persyaratan-persyaratan tersebut
dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut ini.
a. Penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis (pasal 65 ayat 1)
b. Hubungan kerja
dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara
tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya (pasal
65 ayat 6).
c. Hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu
tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (pasal 65 ayat 7).
4. Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh.
Di samping persyaratan formal mengenai outsourcing, diatur pula mengenai
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa/buruh
seperti berikut ini.
a.
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berbentuk badanhukum (pasal 65 ayat 3);
b.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan (pasal 66 ayat
3);
c.
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang
atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
(1)
Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;
(2)
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja
sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu
yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau
perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak;
(3)
Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja,
serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
(4)
Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh
dan perusahaan lain yang bertindah sebagai perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang ini
D. Pekerjaan Penunjang
Perusahaan yang Dapat Dialihkan Pada
Perusahaan Lain
Pasal
65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur
jenis-jenis pekerjaan penunjang yang dapat dilakukan pengalihan kepada
perusahaan lain. Namun ketentuan-ketentuan yang terdapat pada undang-undang
masih bersifat umum, sehingga harus diturunkan lagi ke dalam peraturan
pelaksana yang dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Keputusan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
mengenai syarat-syarat pengalihan pekerjaan penunjang perusahaan diatur dalam
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP
220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan
Kepada Perusahaan Lain[10].
Syarat-syarat pekerjaan penunjang yang dapat dialihkan kepada perusahaan lain
ditetapkan sebagai berikut:[11]
1.
Pekerjaan yang dapat dialihkan kepada perusahaan
pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Dilakukan secara
terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan
pekerjaan;
b. Dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak
langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang
cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
pemberi pekerjaan;
c. Merupakan
kegiatan penunjang pekerjaan secara keseluruhan, kegiatan tersebut merupakan
kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai alur
kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan;
d. Tidak menghambat
proses produksi secara langsung. Artinya Kegiatan tersebut merupakan kegiatan
tambahan yang apabila dilakukan perusahaan pemberi kerja, proses pelaksanaan
pekerjaan tetap berjalan;
2. Perusahaan
pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya
kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses
pelaksanaan pekerjaan;
3. Berdasarkan alur
kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan
penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang
bertnggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja ini dikeluarkan sebagai penegasan pekerjaan yang dapat
dialihkan melalui outsourcing, melalui perusahaan penyedia jasa pekerja untuk
kegiatan penunjang atau pekerjaan yang tidak langsung dengan proses produksi.
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja ini menjadi solusi bagi
kalangan pengusaha, perusahaan penyedia jasa pekerja dalam melakukan kerjasama
outsourcing tentang penyediaan jasa pekerja.
Ketentuan baru yang terdapat dalam Keputusan
Menteri tenaga Kerja No. 220 tahun 2004 tersebut adalah mengenai pelaporan alur
kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan perusahaan kepada instansi
ketenagakerjaan setempat[12].
[1] Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Cetakan XII Jakarta 1990, hal
1.
[2] Kitab Undang Undang Hukum
Perdata (burgerlijk
wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, cetakan. 8,
(Jakarta :Pradnya Paramita, 1976), hal. 282.
[4] Tim Pengajar, Buku Ajar; Hukum Perburuhan Buku A , Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hal
68.
[7] Unsur-unsur badan hukum : memiliki organisasi yang teratur, memiliki
harta kekayaan sendiri (Modal Dasar Perusahaan), dapat melakukan hubungan hukum
sendiri dengan pihak ketiga yang diwakili oleh pengurus, memiliki tujuan
sendiri yang dituangkan dalam Anggaran Dasar. Dirangkum dari : Ahmad Yani, Perseroan Terbatas, Seri Hukum Bisnis,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta1999, hal. 9.
[11] Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor : KEP 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Merupakan Peraturan Pelaksana
dari Pasal 65 (5).Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
[12] Sofyan Wanandi,
Outsourcing dari Perspektif Perusahaan, Materi Seminar “Outsourcing-Regulation,
Strategy & Trend” Ritz Carlton Hotel, Jakarta ,
20 Juli 2005.
Oke juga
BalasHapus