Selasa, 22 Mei 2012

Perlindungan Hukum Outsourcing



PERLINDUNGAN HUKUM OUTSOURCING


A. Perjanjian - Perjanjian Dalam Outsourcing
   1. Perjanjian Menurut KUHPerdata
      Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.[1] Definisi perjanjian yang diuraikan oleh Prof. Subekti, S.H tersebut digunakan untuk memberikan arahan yang jelas dalam pembahasan lebih lanjut tentang perjanjian-perjanjian dalam outsourcing. Pengertian perjanjian merupakan hal mendasar dalam membuat berbagai macam perjanjian, antara lain perjanjian pemborongan pekerjaan, perjanjian penyediaan jasa pekerja serta perjanjian kerja, yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan outsourcing. Perjanjian mengenai pekerjaan penunjang perusahaan harus jelas dalam perjanjian kerjasama antara para pihak, untuk itu pengertian perjanjian ini menjadi penting untuk dilakukan pembahasan.
      Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)  pasal 1313 mengatur tentang arti dari perjanjian, sebagai berikut : [2]
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

Beberapa pengertian tentang perjanjian di atas memberikan arti bahwa suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang yang harus dipatuhi oleh kedua pihak, dimana memberikan hak kepada salah satu pihak serta menimbulkan kewajiban di pihak lainnya, adanya prestasi dari salah satu pihak. Perikatan (verbitenis) tersebut dapat dirubah isi maupun maksud dan tujuannya, dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, sebagai berikut:[3]
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.
Unsur-unsur tersebut di atas berlaku universal bagi seluruh perjanjian, baik merupakan perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa maupun perjanjian kerja. Apabila salah satu unsur perjanjian di atas tidak dipenuhi, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum. 
      Perjanjian-perjanjian yang menjadi dasar dalam pelaksanaan outsourcing secara umum, terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
a.       Perjanjian Kerja
b.      Perjanjian Pemborongan Kerja
c.       Perjanjian Penyediaan Tenaga Kerja
      Pada dasarnya outsourcing merupakan suatu kebiasaan dalam dunia usaha sebagai salah satu strategi untuk dapat lebih berkonsentrasi dalam bisnis pokoknya. Outsourcing sebelumnya tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundangan di Indonesia, namun dengan telah diaturnya outsourcing secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, maka pembahasan mengenai perjanjian-perjanjian dalam outsourcing menjadi penting. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak semata hanya mendasarkan pada kebebasan berkontrak semata, namun juga harus mematuhi dan mengakomodir ketentuan dalam ketentuan ketenagakerjaan, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.






2. Perjanjian Kerja
   Pada dasarnya konsep outsourcing merupakan perjanjian antara pihak-pihak yang terkait, baik perjanjian antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, maupun antara perusahaan penyedia jasa tenaga kerja dengan karyawannya. Untuk itu pengertian perjanjian secara umum merupakan hal mendasar dari pembahasan outsourcing. 
Perjanjian kerja merupakan salah satu turunan dari perjanjian dimana masing-masing perjanjian memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan perjanjian yang lain. Namun seluruh jenis perjanjian memiliki ketentuan yang umum yang dimiliki secara universal oleh segala jenis perjanjian, yaitu mengenai asas hukum, syarat sahnya perjanjian, subjek serta objek yang diperjanjikan.
Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak berisi hak dan kewajiban pihak-pihak yang harus dipenuhi. Dalam hal ini tercermin asas “kebebasan berkontrak” (idea of freedom of contract), yaitu seberapa jauh pihak-pihak dapat mengadakan perjanjian, hubungan-hubungan apa yang terjadi antara mereka itu dan berapa jauh hukum mengatur hubungan antara para pihak.
Salah satu bentuk perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata adalah perjanjian kerja, yang juga merupakan dasar dari outsourcing. Perjanjian kerja ini diatur secara khusus pada Bab Ketujuh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang persetujuan-persetujuan untuk melakukan pekerjaan. Perjanjian-perjanjian kerja yang diatur dalam KUHPerdata tetap mendasarkan pada syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur pada pasal 1320 KUHPerdata.
Menurut pasal 1601a KUHPerdata, yang dimaksud dengan Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja pada pihak yang lain, majikan, selama suatu waktu tertentu, dengan menerima upah.
Dari bunyi pasal tersebut dapat dikatakan bahwa yang dinamakan Perjanjian Kerja harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :[4]
  1. Adanya pekerjaan (arbeid)
  Pekerjaan adalah prestasi yang harus dilakukan sendiri oleh pihak penerima kerja, dan tidak boleh dialihkan kepada pihak lain (bersifat individual)
  1. Adanya unsur dibawah perintah
  Dengan adanya hubungan kedinasan tersebut menjadikan pihak penerima kerja tersebut sangat tergantung pada perintah/instruksi/petunjuk dari pihak pemberi kerja. Walaupun pihak penerima kerja mempunyai keahlian atau kemampuan sendiri dalam hal melakukan pekerjaannya, sepanjang masih ada ketergantungannya kepada pihak pemberi kerja, dapat dikatakan bahwa masih ada hubungan subordinasi.
  1. Adanya upah tertentu (loon)
    Upah merupakan imbalan dari pekerjaan yang dilakukan oleh pihak penerima kerja, yang dapat berbentuk uang atau bukan uang (in natura). Pemberian upah ini dapat dilihat dari segi nominal (jumlah yang diterima oleh pekerja, atau dari segi riil) kegunaan upah tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pekerja. Oleh karena itu dikenal istilah “upah minimum”, yang biasanya ditentukan oleh pemerintah guna meninjau kemanfaatan upah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, dengan menentukan jumlah minimal tertentu yang harus diberikan kepada pekerja sebagai imbalan atas kerja yang dilakukan.
Sistem pemberian upah, biasanya berdasarkan atas waktu atau hasil pekerjaan, yang pada prinsipnya dengan mengacu pada hukum, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau kebiasaan yang ada di masyarakat.
Berkaitan dengan perlindungan bagi pekerja, sebagaimana dimaksud dalam bidang kesehatan kerja, yaitu mengenai batas waktu maksimal seseorang untuk melakukan, maka untuk kelebihan waktu kerja diperhitungkan sebagai upah lembur. Begitu pula bila dikaitkan dengan hak pekerja untuk beristirahat, maka dikenal adanya upah pengganti. Beberapa prinsip yang umum yang ada dalam masyarakat dalam kaitan dengan upah ini, adalah :
(1)   Upah implisit dalam setiap hubungan kerja (yaitu bahwa dalam setiap  hubungan kerja slalu terkait dengan masalah upah);
(2)   Adanya asas non diskriminasi, tidak ada perbedaan dalam hal upah;
(3)   Prinsip “no work no pay”, diberlakukan dengan pengecualiannya;
(4)   Pihak-pihak yang terkait dalam hubungan kerja dapat memperjanjikan mengenai upah, asalkan lebih menguntungkan bagi pihak pekerjanya;
(5)   Larangan pembelanjaan upah (truck stelsel);
(6)   Dalam hal ada pemotongan terhadap upah, maka harus dengan persetujuan pekerja yang bersangkutan;
(7)   Penerapan denda, potongan, ganti rugi dan lain-lain sebagainya yang akan diperhitungkan dalam upah, tidak boleh lebih dari 50 %;
  1. Adanya waktu (tijd)
    Unsur waktu dalam hal ini adalah adanya suatu waktu untuk melakukan pekerjaan dimaksud atau lamanya pekerja melakukan pekerjaan yang diberikan oleh pemberi kerja.
3.   Pemborongan Pekerjaan
     Perjanjian pemborongan pekerjaan menurut pasal 1601b adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Mr. Dr. C. Smit berpendapat, bahwa ia tidak sepakat dengan definisi perjanjian pemborongan pekerjaan dalam pasal 1601b KUHPerdata, karena definisi ini tidak memperlihatkan bahwa pemborongan pekerjaan merupakan perjanjian timbal balik. Menurutnya sebaiknya definisi perjanjian pemborongan pekerjaan adalah “suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa pihak yang satu (pemesan) menugaskan kepada pihak yang lain (pemborong) untuk melaksanakan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran tertentu (harga pemborongan) dan pihak ini sepakat dengan pihak pertama untuk melaksanakan pekerjaan tersebut dengan pembayaran itu.
Hal tersebut dikarenakan bukan hanya perjanjian pemborongan saja, tetapi perjanjian kerja, perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tunggal atau pekerjaan tertentu dan perjanjian angkutan mempunyai persamaan, karena kesemuanya itu merupakan perjanjian yang menyebutkan bahwa pihak yang satu menyetujui untuk melaksanakan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan imbalan upah.
Menurut Prof. R. Subekti, S.H., yang dinamakan perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborngkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah tertentu sebagai harga pemborongan.
Dari rumusan tersebut dapat kita lihat bahwa adanya perjanjian pemborongan merupakan :[5]
a.          Suatu persetujuan (perjanjian) antara pihak pertama yang memborongkan atau principal (aambesterder, bouwheer, kepala kantor, satuan kerja, pemimpin proyek) dengan pihak kedua yang disebut pemborong/rekanan (annemer, kontraktor, konsultan).
b.          Penyelenggaraan suatu pekerjaan oleh pihak pemborong bagi pihak lain yaitu pihak yang memborongkan.
c.          Penerimaan pihak pemborong atas sesuatu harga tertentu sebagai harga borongan dari pihak yang memborongkan.
Bagaimana caranya pemborong mengerjakan tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut (yang memborong), karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan orang mengira bahwa perjanjian Pemborongan hampir sama dengan perjanjian kerja. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis perlu menerangkan secara singkat hubungan antara keduanya yang pada dasarnya adalah mempunyai persamaan sebagai perjanjian untuk melakukan pekerjaan dengan suatu pembayaran sebagai balas jasa. Namun walaupun demikian keduanya tidak dapat digolongkan dalam pengertian hubungan antara pihak-pihak dalam pengertian perjanjian pemborongan.
Definisi perjanjian kerja menurut pasal 1601 huruf a KUHPerdata berbunyi sebagai berikut:
“perjanjian perburuhan adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.
Dalam pasal ini hubungan kerja adalah hubungan antara buruh yang mengikuti majikan yang terjadi setelah adanya perjanjian kerja dimana buruh melakukan pekerjaan di bawah pimpinan atau petunjuk majikan. Sedangkan dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan, hubungan antara seseorang pemborng pekerjaan dengan seseorang yang memborongkan setelah adanya perjanjian pemborongan dimana yang menjadi tujuan utama dalam perjanjian pemborongan ini adalah selesainya pembuatan dari isi perjanjian pemborongan. Hubungan disini bukan merupakan hubungan kerja karena tidak ada unsur memberi petunjuk atau unsur pimpinan pihak yang memborongkan.
4. Bentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Sama halnya dengan perjanjian pada umumnya, hal yang paling penting dalam perjanjian pemborongan adalah kesepakatan. Apabila sudah terjadi kesepakatan antara para pihak, yaitu antara pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong maka perjanjian pemborongan sudah terjadi. Bagaimanakah menuangkan kesepakatan tersebut tidak ada aturan yang pasti, apakah harus tertulis atau dapat dilakukan secara lisan saja. Menurut Mr. Dr.C. Smit perjanjian pemborongan dapat dilakukan sebagai berikut, yaitu:
1. Lisan
Dalam banyak hal perjanjian pemborongan dibuat secara lisan. Perjanjian pemborongan dibuat secara lisan misalnya dalam hal seseorang memesan kepada seorang tukang sepatu orthopedis sepasang sepatu dengan harga tertentu. Selanjutnya cara itu lazim terjadi pada pekerjaan-pekerjaan kecil, misalnya seorang partikelir yang mengerjakan pemotretan pada waktu luang menugaskan kepada seorang pemborong untuk membuat kamar gelap ditingkat atas rumahnya dengan biaya tertentu.
2. Tertulis
Pada dasarnya para pihak dalam perjanjian pemborongan lebih cenderung untuk mengadakan perjanjian pemborongan secara tertulis. Hal tersebut dilakukan sebagai penegasan jika berurusan dengan pemboronga-pemborongan yang lebih berarti. Dengan demikian para pihak maupun pihak ketiga yang berkepentingan mudah untuk mendapatkan bukti dari perjanjian pemborongan yang telah dibuat. Pada kontrak-kontrak penting seperti mengenai bangunan-bangunan, segala sesuatu dibuat secara tertulis, baik dilangsungkan di bawah tangan ataupun dengan pendaftaran.
B. Hubungan  Para Pihak Dalam Outsourcing

1. Bentuk Perjanjian antara Perusahaan Outsourcing dengan Perusahaan Pengguna jasa Pekerja

  Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja atau buruh yang dibuat secara tertulis. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaknsakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:[6]
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
  Perjanjian harus dibuat dengan perusahaan Outsourcing yang berbadan hukum[7], begitu juga dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini supaya mempermudah apabila sampai terjadi sengketa di bidang hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagai pekerja atau buruh pada perusahaan lain sekuruang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau seusuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku :[8]
(1)  Untuk menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota sesuai domisili perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
(2)  Untuk mendapatkan ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh perusahaan menyampaikan permohonan dengan melampirkan :
a. Copy pengesahan sebagai badan hukum berbentuk Perseorangan Terbatas atau Koperasi;
b. Copy anggaran Dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia jasa pekerja/buruh;
c. Copy SIUP;
d. Copy Wajib lapor Ketenagakerjaan yang masih berlaku.
(3)  Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sudah menerbitkan ijin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima.
Dalam hal perusahaan penyedia jasa memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat :[9]
(a)    Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan jasa;
(b)   Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaanpenyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselsiihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
(c)    Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerja yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

2. Bentuk Perjanjian antara Perusahaan Outsourcing dengan Karyawan Outsourcing yang Ditempatkan Pada Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja

  Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. Perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh. Perlindungan upah dan kesejhateraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja atau buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Pekerja atau buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh memperoleh hak yang sama sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul dengan pekerja atau buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja atau buruh.
Hubungan antara karyawan dengan perusahaan Outsourcing merupakan hubungan kerja dengan menggunakan Perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). 

3. Bentuk Perjanjian antara Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja dengan Karyawan Outsourcing yang Ditempatkan Pada Perusahaan Pengguna Jasa Pekerja

Hubungan antara karyawan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa pekerja timbul akibat adanya perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dengan perusahaan outsourcing tempat karyawan tercatat sebagai karyawan. Secara legal tidak terdapat hubungan kerja antara karyawan Outsourcing yang ditempatkan dengan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna jasa pekerja wajib mentaati Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku pada perusahaan tersebut. Peraturan Perusahaan adalah merupakan bentuk dari hak dan kewajiban bagi perusahaan maupun pekerja. Hak dan kewajiban timbul dari suatu hubungan kerja. Dalam rangka melaksanakan pekerjaan yang timbul dari perjanjian outsourcing, hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan pengguna jasa dengan perusahaan outsourcing. Pekerja tidak memiliki hubungan hukum dengan perusahaan pengguna jasa pekerja melainkan dengan perusahaan outsourcing.
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja. 

C. Pengaturan Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13
   Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kata outsourcing tidak disebutkan secara langsung, namun disebutkan sebagai ”menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain.” Outsourcing sendiri merupakan istilah yang lazim digunakan dalam dunia industri dengan makna yang kurang lebih sama dengan maksud yang diuraikan oleh undang-undang ketenagakerjaan.
Penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing tersebut diatur pada pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat) serta pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). Pasal-pasal tentang outsourcing pada Undang-Undang Ketenagakerjaan tersebut memberikan arahan outsourcing sebagai berikut :
1.      Jenis outsourcing.
2.      Persyaratan formal outsourcing.
3.      Persyaratan perusahaan penyedia jasa/buruh.
4.      Jaminan kesejahteraan karyawan/buruh di perusahaan penyedia jasa/ buruh.
  Pengaturan-pengaturan mengenai outsourcing dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini mengalami perkembangan dari pengaturan yang terdapat dalam KUHPerdata, dimana berawal dari persewaan pelayan dan pekerja yang dimasukkan kedalam buku III KUHPerdata dimana jasa pelayan atau pekerja disamakan dengan harta. Dengan pengaturan pada undang-undang, tujuan pengaturan lebih ke arah pada aspek manusia atau perlindungan terhadap pekerja.
   Pemahaman terhadap Pasal-pasal  mengenai outsourcing pada Undang-Undang 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, diuraikan sebagai berikut :



1. Jenis- Jenis Outsourcing
  Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menguraikan tentang jenis outsourcing sebagai berikut :
  Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau   penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

 

  Pada penjelasan pasal dinyatakan cukup jelas, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa outsourcing atau dalam undang-undang dinyatakan sebagai sebagian pelaksanaan pekerjaan perusahaan, terbagi menjadi dua bidang, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh. Jenis Outsourcing tersebut diuraikan sebagai berikut :
a. Pemborongan Pekerjaan
Dalam pemborongan pekerjaan yang dialihkan pada pihak lain adalah proses bisnis atau pekerjaannya. Pada outsourcing pekerjaan ini harus dibuat suatu perjanjian yang akan mengikat kedua perusahaan yaitu dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Unsur-unsur perjanjian pemborongan diuraikan sebagai berikut :
(1)   Adanya perjanjian;
(2)   Penyelenggaraan suatu pekerjaan oleh pihak pemborong bagi pihak lain yaitu pihak yang memborongkan;
(3)   Penerimaan pihak pemborong atas sesuatu harga tertentu sebagai harga borongan dari pihak yang memborongkan.
Pemborongan pekerjaan berarti perusahaan menyerahkan pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain tanpa menyediakan perlengkapan dan peralatan kerjanya. Semua kebutuhan perlengkapan dan peralatan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan berasal dari perusahaan yang menerima pemborongan kerja. Dalam hal ini pihak pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, yaitu pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang telah disepakati bersama. Pemborongan pekerjaan ini lebih menekankan pada hasil akhir pekerjaan dibandingkan dengan aspek tenaga kerjanya. Hasil akhir pekerjaan pemborong ditentukan dari kuaitas serta ketepatan waktu penyelesaian objek pemborongan. Masalah tenaga kerja merupakan masalah pemborong sepenuhnya.
 b. Penyedia Jasa Pekerja/Buruh
Penyedia Jasa Pekerja yang dimaksud dalam pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan diartikan sebagai perusahaan menyerahkan pelaksanaan pekerjaan  kepada “pihak lain” berikut perlengkapan dan peralatan kerjanya. Dengan kata lain, “perusahaan lain” tersebut hanya menyediakan jasa tenaga kerja saja. Proses penerimaan karyawan sampai dengan proses Pemutusan Hubungan Kerja karyawan merupakan tugas dari perusahaan penyedia jasa pekerja, tentunya dengan masukan serta pertimbangan dari pihak pemberi pekerjaan. Penyediaan jasa tidak untuk kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa berbentuk badan hukum dan memiliki izin dari Instansi Ketenagakerjaan. Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan karyawannya yang ditempatkan pada perusahaan pemberi pekerjaan dapat berbentuk perjanjian kerja waktu tertentu ataupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

2. Pembatasan Kegiatan Outsourcing

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain atau dapat juga disebut sebagai pembatasan kegiatan outsourcing,  sebagai berikut :
Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan :
(1)  Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
(2)  Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
(4)   Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  harus berbentuk badan hukum.
(5)   Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(6)   Perubahan dan/atau penambahan syarat -syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
(7)   Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya;
(8)   Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
(9)   Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
(10)     Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).


Selanjutnya, mengenai pasal 66 ayat (1), Penjelasan UU memberikan keterangan lebih lanjut sebagai berikut.

     ’Pada pekerjaan   yang  berhubungan  dengan  kegiatan  usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya 
diperbolehkan  mempekerjakan  pekerja/buruh  dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.’
’Yang dimaksud  kegiatan  jasa  penunjang  atau  kegiatan  yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.’
‘Kegiatan tersebut antara  lain : usaha  pelayanan  kebersihan  (cleaning service),  usaha  penyediaan  makanan   bagi  pekerja / buruh (catering), usaha  tenaga   pengaman   ( security / satuan  pengaman),   usaha  jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.

3.  Persyaratan Formal Outsourcing

     Dalam UU, diberikan beberapa persyaratan formal untuk melakukan outsourcing yang harus diperhatikan oleh pemberi pekerjaan. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut ini.
a.  Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain  dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (pasal 65 ayat 1)
b.  Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya (pasal 65 ayat 6).
c.  Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 (pasal  65 ayat 7).

4.  Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.

     Di samping persyaratan formal mengenai outsourcing, diatur pula mengenai beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan penyedia jasa/buruh seperti berikut ini.
a. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badanhukum (pasal 65 ayat 3);
b. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang  ketenagakerjaan (pasal 66 ayat 3);
c. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(1)  Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
(2)  Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
(3)  Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
(4)  Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan lain yang bertindah sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini

D. Pekerjaan Penunjang Perusahaan yang Dapat Dialihkan Pada
   Perusahaan Lain

Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur jenis-jenis pekerjaan penunjang yang dapat dilakukan pengalihan kepada perusahaan lain. Namun ketentuan-ketentuan yang terdapat pada undang-undang masih bersifat umum, sehingga harus diturunkan lagi ke dalam peraturan pelaksana yang dapat dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 
Keputusan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengenai syarat-syarat pengalihan pekerjaan penunjang perusahaan diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain[10]. Syarat-syarat pekerjaan penunjang yang dapat dialihkan kepada perusahaan lain ditetapkan sebagai berikut:[11]
1.  Pekerjaan yang dapat dialihkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b.      Dilakukan dengan  perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemberi pekerjaan;
c.       Merupakan kegiatan penunjang pekerjaan secara keseluruhan, kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan;
d.      Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya Kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila dilakukan perusahaan pemberi kerja, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan;
2.  Perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan;
3.  Berdasarkan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) perusahaan pemberi pekerjaan menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan ayat (1) serta melaporkan kepada instansi yang bertnggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja ini dikeluarkan sebagai penegasan pekerjaan yang dapat dialihkan melalui outsourcing, melalui perusahaan penyedia jasa pekerja untuk kegiatan penunjang atau pekerjaan yang tidak langsung dengan proses produksi. Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Tenaga Kerja ini menjadi solusi bagi kalangan pengusaha, perusahaan penyedia jasa pekerja dalam melakukan kerjasama outsourcing tentang penyediaan jasa pekerja.
   Ketentuan baru yang terdapat dalam Keputusan Menteri tenaga Kerja No. 220 tahun 2004 tersebut adalah mengenai pelaporan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan perusahaan kepada instansi ketenagakerjaan setempat[12].   



[1]  Subekti, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Cetakan XII Jakarta 1990, hal 1.
[2] Kitab Undang Undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, cetakan. 8, (Jakarta :Pradnya Paramita, 1976), hal. 282.
[3] Ibid, hal. 283. 
[4] Tim Pengajar, Buku Ajar; Hukum Perburuhan Buku A , Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hal 68.
         [5]  R Subekti, Aneka Perjanjian, Cet 10, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 1995, hal. 58.
    [6] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 65 (2) 
         [7] Unsur-unsur badan hukum : memiliki organisasi yang teratur, memiliki harta kekayaan sendiri (Modal Dasar Perusahaan), dapat melakukan hubungan hukum sendiri dengan pihak ketiga yang diwakili oleh pengurus, memiliki tujuan sendiri yang dituangkan dalam Anggaran Dasar. Dirangkum dari : Ahmad Yani, Perseroan Terbatas, Seri Hukum Bisnis, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta1999, hal. 9. 
         [8] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004 Pasal 2.
      [9] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.101/MEN/VI/2004 Pasal 4.
        [10] Keputusan Menteri ini ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 2004, ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea. 
        [11] Pasal 6 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (Merupakan Peraturan Pelaksana dari Pasal 65 (5).Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
[12] Sofyan Wanandi, Outsourcing dari Perspektif Perusahaan, Materi Seminar “Outsourcing-Regulation, Strategy & Trend” Ritz Carlton Hotel, Jakarta, 20 Juli 2005.   

1 komentar: